Sticky Price: Mengapa Harga Kebutuhan Pokok Tetap Tinggi meskipun Kenaikan PPN Dibatalkan?

sticky price

Setelah pemerintah mengumumkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada bulan Desember lalu, banyak pelaku usaha yang segera menyesuaikan harga barang dan jasa untuk mengantisipasi perubahan tersebut. Harga kebutuhan pokok naik. Demikian juga harga jasa. 

Kebijakan ini tentu saja menimbulkan gejolak pada masyarakat. Pada awal Januari, sebagai tanggapan atas gejolak ini, pemerintah membatalkan kenaikan tersebut. Tarif PPN pada kebutuhan pokok tetap 11%. Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% hanya berlaku untuk barang mewah yang masuk dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Yang kemudian menjadi masalah adalah para pengusaha barang nonmewah yang terlanjur menaikkan harga tidak mau menurunkannya meskipun pemerintah sudah menegaskan bahwa tarif PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah. Dalam dunia ekonomi dan bisnis,  fenomena ini disebut sticky price: harga cenderung tetap tinggi meskipun kebijakan yang menyebabkan kenaikan tersebut dibatalkan. Faktor psikologis dan biaya operasional yang sudah terlanjur disesuaikan menjadi alasan utama mengapa harga tidak kembali ke level semula.

Apa Itu Sticky Price?

Sticky price atau kekakuan harga adalah kondisi dimana harga cenderung tidak berubah meskipun terjadi perubahan pada faktor lain, seperti biaya produksi atau tingkat permintaan terhadap barang tersebut. Nama lain dari sticky price adalah nominal rigidity. Dengan kata lain, harga tetap bertahan meskipun ada perubahan di lingkungan pasar. 

Ada dua jenis sticky price, yaitu sticky-up atau sticky-down. Berikut penjelasannya:

  • Sticky Prices Upward: harga sulit naik meskipun biaya atau permintaan meningkat. Misalnya, perusahaan enggan menaikkan harga karena khawatir kehilangan pelanggan.
  • Sticky Prices Downward: harga sulit turun meskipun biaya atau permintaan menurun. Contohnya, upah pekerja jarang dipotong meskipun perusahaan sedang mengalami tekanan ekonomi.

Fenomena Kekakuan Harga Saat Ini

Fenomena sticky price terlihat jelas dalam kondisi ekonomi saat ini. Salah satu contohnya adalah setelah pemerintah mengumumkan rencana kenaikan PPN menjadi 12%, banyak pelaku usaha langsung menaikkan harga barang dan jasa mereka. Meskipun kenaikan PPN akhirnya dibatalkan, harga tetap tidak turun ke harga semula.

Beberapa faktor yang menyebabkan kekakuan harga, antara lain

1. Biaya Operasional yang Sudah Naik

Ketika pengusaha menaikkan harga, mereka juga sering menyesuaikan biaya lain, seperti biaya produksi, pemasaran, distribusi, dan tenaga kerja. Akibatnya, meskipun kenaikan PPN dibatalkan, biaya operasional tetap lebih tinggi dibanding sebelumnya, sehingga harga sulit untuk diturunkan.

2. Faktor Psikologis dan Ekspektasi Konsumen

Pengusaha cenderung mempertahankan harga tinggi karena konsumen sudah terbiasa dengan harga baru. Pengusaha juga khawatir jika menurunkan harga, konsumen akan menganggap produk mengalami penurunan kualitas. Selain itu, mempertahankan harga tinggi dipandang sebagai cara untuk menjaga kesan eksklusivitas dan menjaga margin keuntungan yang lebih stabil di tengah ketidakpastian ekonomi.

3. Ketidakpastian Ekonomi

Dalam ketidakpastian ekonomi, pelaku usaha memilih untuk mempertahankan harga tinggi sebagai langkah antisipasi terhadap potensi kenaikan biaya pada masa depan seperti fluktuasi harga bahan baku atau perubahan kebijakan pemerintah.

Dampak Sticky Price terhadap Daya Beli

Fenomena sticky price saat ini berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Konsumen tetap harus membayar harga tinggi meskipun faktor penyebab kenaikan awal, seperti PPN 12%, sudah tidak berlaku lagi. Penurunan daya beli masyarakat sebenarnya sudah terjadi sejak tahun lalu. Berdasarkan sumber dari CNBC Indonesia, berbagai kalangan, mulai dari ekonom hingga pelaku usaha, mengeluhkan kondisi ini karena memperlambat aktivitas ekonomi.

Pada kuartal III-2024, tingkat konsumsi rumah tangga hanya tumbuh sebesar 4,91% (yoy), yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, yaitu hanya mencapai 4,95%. “Menurut saya, penurunan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi dari sebelumnya di atas 5% menjadi di bawah 5% merupakan tanda yang jelas bahwa ada potensi pelemahan daya beli,” ungkap Bambang Brodjonegoro, Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi,  seperti dikutip dari CNBC Indonesia.

Dalam kondisi seperti ini, penting bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk menjaga keseimbangan antara kestabilan harga barang dan jasa dengan daya beli masyarakat. Jika harga terus naik tanpa terkendali, daya beli akan semakin melemah, mengurangi konsumsi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Bila dibiarkan, kondisi ini bisa memicu perlambatan ekonomi yang lebih serius.

0
like
0
love
0
haha
0
wow
0
sad
0
angry