Perusahaan Ini Sukses karena Mengoptimalkan Customer Lifetime Value

(Ilustrasi: Freepik)

Dalam dunia bisnis yang semakin berorientasi pada pelanggan, memahami nilai jangka panjang dari setiap pelanggan adalah hal yang sangat penting. Merekalah yang membuat bisnis berkembang. Sukses atau tidaknya bisnismu tergantung pada berapa besar uang yang mereka keluarkan untuk membeli produkmu.

Salah satu metrik kunci yang membantu perusahaan dalam mengukur dan mengoptimalkan nilai pelanggan adalah customer lifetime value (CLV). Itu adalah estimasi total pendapatan atau keuntungan yang dapat dihasilkan dari seorang pelanggan selama mereka menggunakan produk atau layanan bisnis Anda. Metrik ini menunjukkan berapa besar jumlah uang yang telah atau diperkirakan akan dibelanjakan oleh pelanggan untuk produk Anda selama mereka aktif sebagai pelanggan. Semakin lama pelanggan terus melakukan pembelian, semakin tinggi nilai customer lifetime value yang dihasilkan.

Customer lifetime value memberikan gambaran tentang seberapa besar potensi keuntungan yang bisa diperoleh dari seorang pelanggan. Selain itu, customer lifetime value juga menjadi dasar untuk menyusun strategi pemasaran, layanan, dan retensi yang lebih efektif. Data menunjukkan bahwa customer lifetime value ini telah digunakan oleh banyak perusahaan besar. 

Baca juga artikel: Apa Itu Customer Lifetime Value dan Bagaimana Cara Menghitungnya?

Beberapa Model CLV

Dikutip dari HubSpot, customer lifetime value mempunyai 2 jenis, yaitu predictive CLV dan historical CLV.

  1. Predictive Customer Lifetime Value

Model ini digunakan untuk memperkirakan kebiasaan belanja pelanggan, baik yang lama maupun baru, dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk data dari riwayat pembelian sebelumnya. Proses ini cukup rumit karena biasanya melibatkan analisis statistik seperti regresi atau bahkan machine learning seperti AI (artificial intelligence). Dengan begitu, perusahaan bisa mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang perilaku pelanggan pada masa depan.

Model ini tidak hanya melihat transaksi, tetapi juga mempertimbangkan perilaku dan interaksi pelanggan secara menyeluruh,  seperti seberapa sering mereka membeli, respon terhadap promosi, dan cara mereka berkomunikasi dengan bisnis. Dengan predictive CLV, perusahaan dapat lebih mudah mengidentifikasi pelanggan yang paling menguntungkan, produk atau layanan yang paling laris, serta menemukan cara untuk meningkatkan loyalitas pelanggan.

  1. Historical Customer Lifetime Value

Model CLV ini menghitung nilai pelanggan berdasarkan data pembelian yang sudah terjadi, tanpa memperhitungkan apakah pelanggan akan terus bertransaksi pada masa depan. Cara menghitungnya sederhana, yaitu mengalikan rata-rata nilai pembelian dengan frekuensi pembelian selama periode tertentu. Contohnya, jika Anda membeli kopi seharga Rp30.000 setiap minggu selama dua tahun, maka CLV Anda untuk kedai kopi tersebut adalah Rp3.240.000 (Rp30.000 × 108 minggu). 

Perhitungan CLV historis bisa dilakukan siapa saja yang memiliki data pembelian. Namun, pemilihan model CLV yang tepat tergantung pada kebutuhan bisnis Anda, apakah ingin fokus pada data masa lalu atau ingin memperkirakan perilaku pelanggan di masa depan. Setiap model memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu dipertimbangkan sebelum digunakan.

Belajar dari Netflix: Sukses Berkat Optimalisasi CLV

(Ilustrasi: Freepik)

Netflix adalah perusahaan penyedia layanan streaming digital terbesar di dunia. Perusahaan ini didirikan oleh Reed Hastings dan Marc Randolph pada 1997 di California, Amerika Serikat. Saat ini, seperti dikutip dari The Wrap, Netflix mempunyai lebih dari 300 juta pelanggan yang tersebar di lebih dari 190 negara.

Perjalanan Netflix untuk menjadi penyedia layanan streaming digital terbesar di dunia tidaklah semulus yang dibayangkan. Dua tahun setelah berdiri, Netflix memiliki karyawan sebanyak 20 orang dengan kondisi hampir bangkrut. Perusahaan ini mulai mencari cara untuk bisa tetap berdiri. Pada 2000, Hastings mencoba melobi John Antioco, mantan CEO Blockbuster. Kepada Antioco, Hastings menjual Netflix seharga 50 juta dolar AS atau setara dengan Rp812 miliar (dengan kurs hari ini, Rp16.241). Namun, Antioco justru menolak dan menertawakan Hastings dan karyawan Netflix. 

Penolakan itu membuat Hastings dan timnya memutar otak untuk membuat strategi baru supaya tetap bisa bertahan. Alhasil, setahun kemudian,  Netflix berhasil memiliki satu juta pelanggan. Dan angka ini terus bertambah dari tahun ke tahun. 

Ada berbagai strategi yang digunakan Netflix untuk bangkit dan berkembang. Salah satunya, seperti dikutip dari Faster Capital, adalah optimalisasi customer lifetime value (CLV). Dengan mengandalkan data analitik dan personalisasi, Netflix mampu meningkatkan kepuasan, retensi, dan pendapatan dari setiap pelanggan. Berikut beberapa strategi Netflix untuk mencapainya:

1. Konten berbasis data

Netflix menggunakan algoritma canggih untuk menganalisis perilaku, preferensi, rating, dan umpan balik dari pelanggan. Informasi ini dimanfaatkan untuk membuat atau mengakuisisi konten original yang sesuai dengan selera audiens yang beragam secara global. Pendekatan ini memastikan bahwa pelanggan merasa terhubung dengan platform dan terus menemukan konten yang relevan.

2. Rekomendasi dan antarmuka yang dipersonalisasi

Melalui teknologi machine learning, Netflix menyajikan rekomendasi tontonan yang disesuaikan dengan histori penonton, profil pengguna, serta perangkat yang digunakan. Netflix juga rutin melakukan A/B testing untuk menguji berbagai elemen, seperti gambar mini, judul, deskripsi, dan genre agar dapat menarik perhatian pengguna secara lebih efektif. Antarmuka aplikasi pun disesuaikan untuk berbagai perangkat demi memberikan pengalaman menonton yang optimal.

3. Retensi dan loyalitas pelanggan

Netflix menawarkan kenyamanan menonton tanpa iklan, kontrak jangka panjang, atau batasan waktu. Dukungan pelanggan juga responsif dalam menangani gangguan teknis, kesalahan tagihan, atau masalah layanan lainnya. Selain itu, Netflix memberikan insentif seperti masa uji coba gratis dan penawaran khusus untuk mempertahankan pelanggan lama.

Dengan strategi ini, Netflix berhasil meningkatkan CLV pelanggan dari $291 pada tahun 2017 menjadi $338 pada tahun 2020. Peningkatan ini mencerminkan kemampuan perusahaan dalam mengelola hubungan jangka panjang dengan pelanggan secara efektif, sekaligus mengurangi biaya akuisisi dan pelayanan. Dengan demikian, Netflix dapat terus berinvestasi dalam konten, teknologi, dan pemasaran, serta mempertahankan keunggulan kompetitif dalam industri streaming global.

Memahami dan mengelola CLV kini bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan bagi setiap bisnis. Dengan memanfaatkan CLV, perusahaan dapat merancang strategi yang lebih tepat, menggunakan sumber daya secara efisien, dan membangun hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan dengan pelanggan. Contohnya seperti Netflix yang berhasil meningkatkan pendapatan dan loyalitas pelanggan melalui penerapan CLV secara efektif. Strategi ini tidak hanya membantu bisnis tumbuh, tetapi juga menciptakan pengalaman pelanggan yang lebih personal, relevan, dan bernilai tinggi.

0
like
0
love
0
haha
0
wow
0
sad
0
angry